PERSEPULUHAN
WAJIB atau
SUKARELA?
Hukum persepuluhan seperti yang dipraktikkan banyak (tidak semua) Gereja
Kristen berarti bahwa setiap anggota jemaat yang mempunyai penghasilan, wajib
memberikan sepersepuluh (10 %) dari penghasilannya kepada Gereja. Pratek ini
dilakukan sebagai bentuk syukur atas berkat Tuhan dan sangat membantu karya
Gereja. Bagaimanakah dasar hukum persepuluhan ini, lalu dalam Gereja Katolik
wajib atau sukarela; boleh apa nggak kita melakukannya?
Dasar Persepuluhan
Persepuluhan
didasarkan pada tindakan Abraham setelah menang perang, yaitu memberikan
sepersepuluh dari hasil rampasan perang itu kepada Melkisedek, Imam Agung (Kej
14:17-24). Tindakan Abraham ini dipandang sebagai kewa-jiban yang harus
dijalankan oleh umat Israel sebagai ketu-runan Abraham (Ul 14:22-23; 26:12-15;
Bil 18:20-22; Neh 10:37-38; Im 27:32-33).
Karena
orang-orang Kristiani adalah keturunan Abraham (Gal 3:7), maka mereka juga
wajib membayar sepersepuluh dari penghasilan mereka kepada penerus imam
Melkisedek, yaitu Yesus Kristus (bdk Ibr 7:1-28). Dalam hal ini, Kristus
diwakili Gereja atau pemimpin Gereja. hal ini dipandang sesuai dengan ungkapan
Yesus berkaitan dengan persepuluhan (Mat 23:23), yaitu bahwa Yesus tetap
menyetujui praksis persepuluhan itu.
Kalau memang demikian dan dasar Kitab Sucinya jelas,
mengapa praktek persepuluhan tidak ada dalam Gereja Katolik?
Memang
umat Katolik tidak mempraktikkan perse-puluhan, artinya tidak diwajibkan
membayar persepuluhan kepada Gereja. Namun sebenarnya, dalam Konsili Trente, persepuluhan
pernah diwajibkan bagi umat Katolik. Tetapi, praktek itu lenyap pelan-pelan,
yaitu sejak Revolusi Perancis pada abad ke-XVIII, meskipun peraturan itu
sendiri belum pernah dicabut. Keputusan Konsili Trente itu bukanlah keputusan
dogmatis (ajaran iman yang tidak bisa berubah), karena itu bisa saja diubah
oleh pemimpin Gereja berikutnya bila dipandang kurang tepat.
Lenyapnya
pesepuluhan dalam Gereja Katolik sebenarnya sangat sesuai dengan catatan
sejarah Gereja bahwa perse-puluhan itu tidak tampak dalam Perjanjian Baru dan
tidak dilakukan pada masa Gereja perdana. Beberapa Bapa Gereja mengajarkan
bahwa persepuluhan itu kurang sesuai dengan semangat Perjanjian Baru, yaitu
memberi secara sukarela seperti yang dikatakan Paulus: "Hendaknya masing-masing memberikan menurut
kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah
mengasihi orang yang memberi dengan sukacita" (2 Kor 9:7).
Lalu bagaimana? Apakah Gereja sudah kaya sehingga nggak
butuh lagi persepuluhan? Bagaimana cara umat untuk mengungkapkan syukur dalam
bentuk derma / pemberian dana bagi Tuhan melalui Gereja?
Tentu
sangat baik memberikan sumbangan kepada Gereja karena selama Gereja masih hidup
di dunia ini, tetap akan dibutuhkan dana untuk mendukung kehidupan dan pelayanan
Gereja. Demikian pula tetap dibutuhkan bantuan untuk orang-orang miskin. Namun Gereja
mengajarkan dengan tegas bahwa membantu Gereja dan membantu orang miskin bukan
bersifat manasuka tetapi suatu "kewajiban" (KHK Kan 222 # 1 dan 2;
bdk Kan 1260-1266). Namun demikian, pelaksanaan kewajiban ini tidak ditentukan
dengan jumlah tertentu, misalnya sepersepuluh, tetapi diserahkan kepada
kerelaan hati umat.
Perubahan
penting yang hendak ditegaskan di balik "lenyapnya praksis
persepuluhan" dalam Gereja Katolik ini ialah perubahan semangat dasar yang
harus menggerakkan umat untuk memberikan sumbangan, yaitu dari semangat
berdasarkan hukum (sebagai kewajiban) ke semangat cinta kasih kepada Allah dan
sesama. Maka jika kita mau memberikan persepuluhan harus didasari sikap
kerelaan hati dan ungkapan syukur, bukan karena / demi kewajiban.
Janda
miskin yang memberikan persembahan seluruh miliknya menjadi contoh cinta kasih
yang memberikan diri tanpa batas (Luk 21:1-5). Cinta kasih ini bebas dari
pamrih, yaitu memberi untuk menerima (do ut des). Cinta kasih ini yang
menggerakkan kita untuk mengakui karunia kesejahteraan yang telah dilimpahkan
Tuhan kepada kita, suatu ungkapan syukur atas berkat Tuhan disertai keinginan
untuk membalas kasih-Nya. Cinta kasih inilah yang menggerakkan kita menyadari
diri sebagai bagian dari Gereja, dan karena itu selalu bersedia untuk saling
mendukung dalam karya pelayanan. Cinta kasih inilah yang menggerakkan kita
membagikan harta milik kita kepada orang miskin (KGK 2443-2447).
Dengan
ini menjadi nyata bahwa Yesus datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat,
tetapi untuk menggenapinya (Mat 5:17). Juga menjadi nyata bahwa semua hukum
dirangkum dalam perintah cinta kasih kepada Allah dan sesama.****
Sumber: Hidup No. 6, 6 Feb. 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.