“Jadi
pastor? Nggak ah…!!” Jawaban ini pastilah akan kita dengar bila kita
tanyakan kepada anak-anak muda kita. Menjadi pastor bukanlah cita-cita favorit,
bukan hanya bagi kaum muda saja, namun juga bagi banyak orangtua Katolik.
Semakin jarang orangtua yang mengarahkan dan membimbing anak-nya untuk kelak
menjadi imam. Bagi orangtua, anak yang sukses adalah mereka yang bercita-cita
jadi dokter, pengusaha, tentara, dll., atau, saat SLTA masuk jurusan IPA
(anehnya tak jarang saat kuliah ambil jurusan ekonomi!). Maka walaupun sering
kita berdoa “agar semakin banyak kaum muda yang menanggapi panggilan Tuhan,”
namun jarang yang melanjutkan doanya dengan mengatakan, “panggillah diantara
anak-anakku…!!” Namun toh demikian, diantara sedikitnya kaum muda kita yang
menjadi pastor (atau biara-wan/ti), kita tetap bersyukur bahwa selalu ada yang
terpanggil untuk menjadi imam.
Ada
ungkapan yang menyatakan bahwa tanda suatu paroki itu sungguh hidup atau
keberhasilan suatu paroki dalam membina umatnya dapat diukur dari berapa banyak
kaum mudanya yang menjawab panggilan menjadi pastor. Semakin baik kehidupan spiritual
paroki tersebut, maka akan semakin banyak kaum muda yang terpanggil menjadi
pastor, karena keinginan untuk menjadi pastor dimulai dari keluarga dan juga
dari lingkungan Gereja.
Barangkali
salah satu faktor penting penentu ada atau tidaknya, sedikit atau banyaknya
panggilan dalam suatu paroki adalah pemahaman umat akan Sakramen Imamat.
Bukankah “tak kenal, maka tak sayang.” Tulisan berikut ini semoga membantu kita
untuk semakin mengenal dan menyayangi Sakramen ini.
Apa itu Sakramen Imamat?
Gereja mengajarkan bahwa kita sebagai umat beriman, berkat Sakramen
Baptis, turut ambil bagian dalam imamat Yesus Kristus. Dengan kata lain, kita
semua diangkat menjadi imam! Namun demi fungsi (bukan tingkatan) Gereja
membedakan imamat itu menjadi dua, yakni: imamat umum dan imamat khusus (imamat
jabatan, tahbisan). Imamat umum diterima oleh semua umat berkat baptisan.
Imamat khusus atau imamat jabatan diterima oleh seseorang karena tahbisan.
Melalui baptisan kita harus menjadi imam, yaitu dengan menjadi saksi Kristus
yang baik, hidup menurut iman, pengharapan, dan kasih. Melalui kesaksian hidup
kita, maka kita akan menjadi pancaran terang kasih Kristus, sehingga secara
tidak langsung, kita berpartisipasi untuk membawa umat yang lain kepada Sang
Imam Agung, yaitu Kristus. Kita juga menjalankan tugas imamat umum itu dengan
mengikuti perayaan Ekaristi. Dengan persiapan dan partisipasi aktif, kita semua
menyatukan persembahan kita, suka duka kita, dan kehidupan kita dalam kurban
Ekaristi.
Imamat
khusus atau imamat jabatan diterima karena Sakramen Imamat atau tahbisan.
Dengan menerima tahbisan orang “diangkat untuk atas nama Kristus menggembalakan
Gereja dengan sabda dan rahmat Allah.” (LG 11). Jadi, dengan sakramen imamat,
imam (pastor, romo) diangkat menjadi pemimpin resmi Gereja Katolik, baik dalam
pelayanan aneka sakramen maupun dalam seluruh kehidupan dan kegiatan Gereja.
Dengan demikian seorang imam boleh bertindak atas nama Kristus atau menampilkan
Yesus Kristus sebagai kepala dan atas nama Gereja. Katekismus Gereja Katolik
(KGK 1536) menyebutkan bahwa tahbisan adalah suatu sakramen, di mana perutusan
yang dipercayakan Kristus kepada Rasul-rasul-Nya, dilanjutkan sampai akhir
zaman.
Tiga Tingkatan Tahbisan
Dalam
Gereja, ada tiga tingkatan tahbisan, yakni: epis-kopat, presbiterat, dan
diakonat.
1. Episkopat atau uskup adalah penerus dari para rasul, yang
diutus oleh Yesus sendiri. Sama seperti Yesus menunjuk rasul Petrus, sebagai
kepala dari para murid, maka Uskup Roma menjadi penerus dari rasul Petrus
menjadi kepala dari seluruh Gereja di seluruh dunia. Sedang para uskup adalah
pemimpin dari gereja setempat / keuskupan, yang dibentuk menurut gambaran
Gereja universal (semesta) dan dalam kesatuan dengan Bapa Paus. Sebagai
pengganti para rasul dan mewakili Kristus, Uskup melayani semua Sakramen. Hanya
uskup yang dapat melayani Tahbisan Suci dan Sakramen Krisma.
2. Pembantu dari uskup adalah para pastor (presbiterat), yang
biasanya membawahi paroki atau karya-karya pelayanan pastoral suatu keuskupan.
Pastor ambil bagian dalam pewartaan dan pelayanan umat. Mereka melayani
setidaknya 5 sakramen (baptis, ekaristi, pengakuan, perka-winan, dan pengurapan
orang sakit), atas seijin uskup, kadang-kadang juga Sakramen Krisma.
3. Sedangkan diakonat diperbantukan untuk membantu pelayanan para
pastor dan uskup. Mereka dapat membaptis, menerimakan komuni, menjadi saksi
resmi perkawinan (menikahkan), membacakan Injil saat misa dan berkotbah dan
ambil bagian dalam karya pelayanan kepada umat beriman.
Diakon
dan Imam ditahbiskan oleh uskup, sedangkan uskup ditahbiskan oleh para uskup
yang lain dengan persetujuan dari uskup Roma (Paus). Dengan demikian kita
melihat bahwa seluruh tahbisan di Gereja Katolik saling terkait dan dapat ditelusuri
sampai kepada para Rasul, yang diutus oleh Yesus sendiri. Karena inilah maka
salah satu ciri Gereja Katolik adalah apos-tolik (berasal dari para Rasul).
Imam : Melanjutkan tiga misi Kristus sebagai
Imam, Raja, dan Nabi
Sebagai Imam, para imam melan-jutkan karya Kristus dengan
mera-yakan sakramen dan memimpin umat dalam liturgi, terutama di dalam liturgi
Ekaristi. Di sinilah peran imam menjadi begitu jelas, yang mewakili Kristus (persona
Christi) untuk menghadirkan kembali kurban Paskah Kristus. Mereka
memberikan Sakramen Baptis, Penguatan, Pengakuan Dosa, Sakra-men Perminyakan,
dan memberikan penguburan kepada yang meninggal. Dalam kesehariannya, mereka
juga berdoa brevier (ibadat harian), doa yang menjadi doa Gereja.
Sebagai Nabi, para imam melaksanakannya dengan berkotbah,
mengajar di sekolah atau persiapan Pembaptisan. Secara prinsip seorang pastor
harus menyampaikan kebenaran, yang bersumber pada Kitab Suci, Tradisi Suci, dan
Magisterium. Imam yang menyampaikan ajaran yang dianggapnya benar namun tidak
berdasarkan tiga pilar kebenaran di atas, sebe-narnya tidak menjalankan
fungsinya sebagai nabi. Karena sebagai nabi, dia hanyalah meneruskan Kebenaran
kepada umat, bukan mengarang kebenaran, berdasarkan pendapat pribadi, atau
berdasarkan suara umat, karena kebenaran tidak tergan-tung dari suara
terbanyak.
Sebagai
Raja, para pastor melaksanakannya dengan pelayanannya di bidang
kepemimpinan umat, baik di paroki atau komunitas yang dipercayakan kepada
mereka. Mereka bekerja sama dengan dewan paroki, sehingga kegiatan paroki dapat
berjalan dengan baik.
Mengapa imam tidak menikah?
Sering
menjadi pertanyaan banyak orang, baik non Katolik ataupun di kalangan umat
Katolik sendiri, “Mengapa imam tidak
diperbolehkan untuk menikah? Apakah ini hanya merupakan karangan Gereja Katolik
semata?” Mari kita melihat bukti-bukti bahwa kaul kemurnian / selibat
mem-punyai dasar yang kuat:
1. Para rasul telah menjalankan kaul kemurnian sebelum penderitaan Yesus,
seperti yang dikemukakan oleh Petrus “Kami ini telah meninggalkan segala
sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?” (Mat 19:27).
Yesus menjawab “Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya,
saudaranya laki-laki atau sau-daranya perempuan, bapa atau ibunya, atau istri (catatan:
kata “istri” tak ada dalam Alkitab LAI, namun ada dalam Vulgata, King James
dan Douay Rheims) anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali
seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal” (Mat 19:29).
Mening-galkan segalanya dan istri disini, ditafsirkan sebagai tin-dakan tidak
melakukan hubungan badan lagi.
2. Di dalam Gereja perdana, karena terbatasnya calon yang belum menikah
untuk diakon, imam, dan uskup yang, maka mereka dapat menikah sebelum
ditahbiskan (lih. 1 Tim 3:1-4), namun mereka dituntut untuk
mempraktekkan kaul kemurnian setelah ditahbiskan.
3. Dokumen pertama yang menyatakan secara eksplisit tentang hal ini
adalah Konsili Elvira di Spanyol tahun 306 dan Kartago tahun 390, serta
dekrit dari Paus Siricius dan Innocentius, sekitar akhir abad ke-4 dan awal
abad ke-5. Semuanya itu menunjukkan bahwa hidup selibat setelah tahbisan
bukanlah inovasi semata, namun merupakan hal yang telah dijalankan oleh para
murid, Bapa Gereja, dan menjadi bagian dari tradisi. Paus Siricius
mengatakan bahwa peraturan untuk hidup selibat dimaksudkan untuk memberikan
segenap jiwa dan raga bagi Tuhan dalam kaul kesucian sejak tahbisan. Dan Konsili
Kartago menekan-kan hidup selibat untuk meneruskan ajaran dan praktek hidup
selibat seperti yang telah dijalankan oleh para rasul.
4. Gereja Timur tidak lagi mempraktekan tradisi apostolik ini karena
perubahan yang dilakukan di Konsili Trullo ( abad VII). Namun hanya imam yang tidak menikah yang dapat
ditahbiskan menjadi uskup, dan seorang iman tidak dapat menikah setelah dia
ditahbiskan. Yang menjadi motif dari Konsili Trullo adalah begitu banyak
penyimpangan, seperti simoni (suap / beli jabatan imamat), penyimpangan
kehidupan seksual para iman, atau masih mengadakan hubungan suami-istri
walaupun sudah ditahbiskan. Menanggapi hal itu, Gereja Latin di bawah
kepemimpinan St. Gregorius VII mengambil jalan untuk menjalankan peraturan
secara ketat, sebaliknya Gereja Timur mengambil cara untuk memperlunak
peraturan tersebut. Cara yang sungguh patut dipuji dari St. Gregorius VII
membuahkan hasil dengan meletakkan pondasi yang kokoh, sehingga membuat Gereja
berkembang pesat di abad 12-13.
5. Alasan yang utama dari kaul ketaatan adalah seorang imam secara
sakramental mewakili Kristus sebagai mempelai pria dari Gereja,
sehingga tidaklah pantas bahwa dia sendiri mempunyai istri bagi dirinya
sendiri.
Dari
segi kepraktisan, kita dapat melihat bahwa dengan tidak menikah maka seorang
imam dapat mencurahkan segenap hati, jiwa, dan pikirannya untuk melayani Tuhan
dan sesama. Rasul Paulus sendiri memberikan nasehat “ Aku ingin, supaya kamu
hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada
perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya” (1 Kor 7:32).
Dengan hidup selibat, seorang imam hanya memikirkan apa yang terbaik bagi Tuhan
dan umat yang dipercayakan kepadanya.
Siapakah yang berani menjawab panggilan suci ini?
Tantangan
bagi kaum muda: Kalau engkau ingin membe-rikan dirimu secara khusus kepada
Tuhan, mempunyai hati untuk melayani sesama, mengasihi Tuhan dan Gereja-Nya,
pertimbangkanlah untuk menjadi imam. Menjadi imam adalah suatu berkat yang
istimewa; sebab imam menjadi gambaran nyata atas kasih Kristus yang hidup bagi
Gereja dan dunia ini. Yesus sendiri menjanjikan kelimpahan berkat bagi mereka
yang menjawab panggilan-Nya ini, dan jika Yesus sendiri yang menjanjikannya,
pasti Ia akan memenuhinya.
Diperlukan
suatu keberanian untuk menjawab panggilan Tuhan. Namun kita percaya bahwa
berkat dari Tuhan tercurah dengan melimpah bagi orang yang mau menjawab
panggilan-Nya. Siapakah yang mau menjawab seruan Tuhan “Siapakah yang akan
Ku-utus, dan sia-pakah yang mau pergi untuk Aku?” Siapa yang akan menja-wab
bersama nabi Yesaya “Ini aku, utuslah aku!” (Yes 6:8)
Marilah
kita bersama-sama berdoa setiap hari untuk keku-dusan para imam. Sebutlah
satu-persatu imam yang kita kenal, dan mintalah Bunda Maria menuntun para imam
agar mereka dapat semakin menyerupai Putera-Nya. Biarlah para imam dapat
menjadi imam yang kudus, sehingga mereka dapat menjadi pancaran kasih Kristus.
Tuhan Yesus Kristus, kami bersyukur atas para
imam-Mu. Mereka telah Kaupilih dan Kauurapi dengan Roh Kekudusan. Melalui
pelayanan merekalah Engkau menggembalakan kami, menguduskan kami, dan menerangi
kami dengan Sabda-Mu.
Kami berdoa untuk para imam, anugerahilah mereka
kebahagiaan dan kesetiaan, berilah mereka sukacita dan semangat bekerja sama,
dan mampukanlah mereka untuk hidup suci seturut teladan Santa Perawan Maria,
Bunda dan Ratu para imam.
Berkat bantuan doa Bunda Maria, berilah kami
selalu para calon imam yang baik, benih panggilan diantara anak, remaja, dan
kaum muda kami, dan kesuburan panggilan suci dalam keluarga kami, umat-Mu.
Sebab Engkaulah Tuhan dan Pengantara kami, yang
bersama Bapa dan Roh Kudus, hidup dan berkuasa sepan-jang segala masa. Amin.
Santa Perawan Maria, Bunda dan Ratu para Imam,
doakanlah kami.
Santo Yohanes Maria Vianney, pelindung semua imam
di seluruh dunia, doakanlah kami.
Amin.
Tuhan Yesus panggilah dan pilihlah anak-anak kami menjadi imam-imamMu yang taat, suci dan setia sampai mati mengikuti jalanMu. Utuslah mereka ke seluruh dunia sebagaimana Engkau juga mengutus para muridMu, mewartakan injil ke sgala bangsa. Agar semua bangsa diselamatkan oleh Engkau dan melalui Engkau. Dimuliakanlah namaMu Tuhan kini dan sepanjang masa. Amin.
BalasHapus