50 Tahun
Hierakhi Episkopal Indonesia (1)
Pada tanggal 20 Nov. nanti, pada perayaan Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam, bersama umat se-keuskupan kita juga akan merayakan penutupan perayaan 50 Tahun Hierarkhi Episkopal Indonesia. Pada perayaan ini, kita hendak mengucap syukur kepada Allah yang telah berkenan menyertai perjalanan Gereja Katolik Indonesia.
50 Tahun Hierakhi
50 Tahun Hierakhi
St. Fransiskus Xaverius, pelindung Misi |
Perayaan 50 tahun (pesta emas) Hierarkhi Gereja Katolik Indonesia bukan didasarkan bahwa iman Katolik baru berusia 50 tahun di Indonesia. Atau, iman Katolik masuk Indonesia baru 50 tahun yang lalu. Usia iman Katolik di bumi Nusantara jauh sebelum itu sudah ”ditaburkan” dan berkembang di Nusantara. Usia 50 tahun itu berdasarkan penetapan oleh Roma tentang ”perubahan status” Gereja Katolik di Indonesia dari semula sebagai Gereja misi menjadi Gereja yang mandiri. Hal itu terjadi pada tanggal 3 Januari 1961, setelah munculnya (semacam SK) Konstitusi Apostolik ”Quod Christus Adorandus” dari Paus Yohanes XXIII. Dengan status ini, diresmikanlah status keuskupan-keuskupan di Indonesia yang sebagian besar sebelumnya masih sebagai ”Prefektur Apostolik.” Gereja Katolik di Indosia dianggap sudah dewasa; mampu bertanggungjawab dan berkembang sendiri tanpa harus tergantung dengan Roma (dalam hal dana, tenaga, dan sarana).
Iman Katolik di Bumi Nusantara
Dari catatan sejarah kekatolikan sebenarnya sudah ada di Nusantara sejak abad ke-7. Hal itu dicatat oleh Shaykh Abu Salih al-Armini yang menulis buku “Daftar berita-berita tentang Gereja-gereja dan pertapaan dari provinsi Mesir dan tanah-tanah di luarnya.” Gereja Bunda Perawan Murni Maria di Pancur, Barus, Sumatera Utara (Keuskupan Sibolga) masuk dalam daftar itu. Namun bagaimana sejarah berikutnya dari Gereja itu tak ada catatan sejarah atau bukti fisik lagi yang bisa ditemukan.
Catatan sejarah iman Katolik di Nusantara mulai muncul lagi di abad ke-15. Hal itu terjadi setelah kedatangan bangsa Portugis ke kepulauan Maluku. Orang pertama yang menjadi Katolik adalah orang Maluku, Kolano (kepala kampung) Mamuya (Maluku Utara) yang dibaptis bersama seluruh warga kampungnya pada tahun 1534 setelah menerima pemberitaan Injil dari Gonzalo Veloso, seorang saudagar Portugis. Tahun 1534 ini dijadikan patokan masuknya iman Katolik di Indonesia! (Jadi, sekarang sudah 477 tahun) Ketika itu para pelaut Portugis baru saja menemukan kepulauan rempah-rempah itu dan bersamaan dengan para pedagang dan serdadu-serdadu, para imam Katolik juga datang untuk menyebarkan Injil. Salah satu pendatang di Indonesia itu adalah St. Fransiskus Xaverius, yang pada tahun 1546 - 1547 datang mengunjungi pulau Ambon, Saparua dan Ternate. Ia juga membaptis beberapa ribu penduduk setempat.
Pada masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Indonesia (1619-1799), iman Katolik mengalami “masa sengsara.” Gereja Katolik dilarang secara mutlak dan hanya bertahan di wilayah yang tidak termasuk VOC yaitu Flores dan Timor. Para penguasa VOC beragama Protestan maka mereka mengusir para imam Katolik yang berkebangsaan Portugis dan menggantikannya dengan para pendeta Protestan Belanda. Banyak umat Katolik yang dipaksa beralih menjadi Protestan.
Misionaris MSF di Kalimantar |
Tak hanya umat yg menderita, para imam juga demikian. Imam Katolik diancam hukuman mati, kalau ketahuan berkarya di wilayah VOC. Hal itu misalnya menimpa Pastor Egidius d'Abreu SJ dibunuh di Kastel Batavia (1624), karena mengajar agama & merayakan Misa Kudus di penjara. Lalu, Pastor A. de Rhodes, SJ, seorang Yesuit Perancis, pencipta abjad Vietnam, dihukum dengan dipaksa menyaksikan pembakaran salib dan perlengkapan ibadat Katolik di bawah tiang gantungan, tempat dua orang pencuri baru saja digantung, lalu Pastor Rhodes diusir (1646). Yoanes Kaspas Kratx, seorang Austria, terpaksa mening-galkan Batavia karena usahanya dipersulit oleh para pejabat VOC, setelah membantu beberapa imam Katolik yang singgah di pelabuhan Batavia. Ia lalu pindah ke Makau, masuk Serikat Jesus dan meninggal sebagai seorang martir di Vietnam (1737).
Pada akhir abad ke-18 Eropa Barat diliputi perang dahsyat antara Perancis dan Britania Raya bersama sekutunya masing-masing. Simpati orang Belanda terbagi, ada yang memihak Perancis dan sebagian lagi memihak Britania, sampai negeri Belanda kehilangan kedau-latannya. Pada tahun 1806, Napoleon Bonaparte mengangkat adiknya, Lodewijk atau Louis Napoleon, seorang Katolik, menjadi raja Belanda. Tahun 1799 VOC bangkrut dan dinyatakan bubar. Adakah hal itu berpengaruh pada misi Katolik di Nusantara? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.